Sabtu, 10 Maret 2012

Sang Pemilik Zara

 
>



Bagi pecinta mode, nama Zara tentulah sudah tidak asing lagi. Gerai fashion asal Spanyol yang juga membuka cabang di Indonesia sejak 2005 ini, memang mempunyai reputasi yang tak diragukan. Tidak heran bila gerainya tak pernah sepi pembeli.

Adalah Amancio Ortega Gaona yang menjadi arsitek kesuksesan Zara. Lelaki yang diposisikan London Times di puncak 25 orang paling dinamis di industri fashion ini, membuka toko Zara yang pertama di La Coruna pada 1975. Setelah lebih dari tiga dasawarsa berlalu, Zara menyebar ke-64 negara dan memiliki 3.000 gerai.

Berdasarkan laporan Inditex, perusahaan induk yang mengelola Zara dan tujuh merek lainnya, sampai 2005 omzet Zara sebesar 8,7 miliar dolar AS. Hampir 60 persen dari nilai itu didapat dari penjualan di luar Spanyol. Ortega bukanlah keturunan pengusaha. Pria kelahiran Leon, Maret 1936 itu, berasal dari keluarga tak mampu. Ayahnya hanyalah pegawai kereta api dan sang ibu cuma pembantu rumah tangga. Ia bahkan harus drop out dari SMA, karena orangtuanya tidak mempunyai uang untuk membiayai sekolahnya. Namun hal itu tak membuatnya patah arang. Selepas DO dari SMA, dia bekerja di industri tekstil Iberia di La Coruna. Inilah perkenalan pertama Ortega dengan dunia tekstil.

Tak berapa lama kemudian, dia pindah kerja di sebuah rumah jahitan. Ia bertugas sebagai pengantar pakaian yang dipesan orang-orang kaya. Berkat ketekunan dan kerja kerasnya, Ortega kemudian dipercaya menjadi penghias kain dan asisten penjahit. Sejak itu, minatnya terhadap dunia tekstil terus tumbuh.

Awal 1960-an, setelah lebih dari satu dasawarsa berkecimpung di dunia tekstil, Ortega akhirnya dipercaya menjadi manajer di sebuah toko pakaian. Pada saat itulah, dia mulai menangkap peluang. Disadarinya, hanya orang-orang kaya yang mampu membeli pakaian dengan harga mahal. Karena itu, dia akan membuat pakaian yang sama dengan harga murah.

Diawali dengan membuat gaun bersama istri keduanya, Rosalia Mera, pada 1963 ia kemudian mendirikan Confecciones Goa, sebuah konveksi. Beberapa tahun kemudian, dibukalah toko pertamanya. Toko inilah yang kemudian menjadi cikal bakal industri mode terkemuka saat ini, Zara. Sigap menangkap keinginan pasar dan pelayanan maksimal, itulah yang diterapkan Ortega dalam menjalankan Zara.


Berbeda dari perusahaan fashion lainnya yang menciptakan permintaan untuk tren baru pada musim semi atau musim dingin dengan membuat pergelaran busana, Zara justru membuat pakaian berdasarkan permintaan para pelanggannya di seluruh jaringan tokonya. Caranya, Zara menugaskan pada 200 desainernya di Spanyol melakukan perjalanan keliling dunia untuk melihat perkembangan tren fashion di negara-negara lain. Dengan demikian ia bisa bergerak cepat dan lebih dulu menangkap perubahan pasar. Tak mengherankan, Zara menjadi trend setter bagi industri fashion. Tak hanya itu. Di La Coruna, desainer dan ratusan manajer produk tak henti berdiskusi untuk memutuskan model apa yang akan dibuat.

Setiap hari mereka mengumpulkan saran dari seluruh manajer Zara di seluruh dunia. Setelah menimbang gagasan para manajer toko tersebut, tim desainer dan manajer produk memutuskan apa yang akan diluncurkan ke pasar. Maka, dibuatlah gambar dalam komputer untuk kemudian dikirim ke pabrik yang letaknya tak jauh dari lokasi kerja mereka.

Untuk memberi kenyamanan pada pembeli, di setiap gerai Zara terdapat kamar pas yang luas dalam jumlah yang banyak. Ada lebih dari lima ruang pas dalam satu gerai. Menariknya lagi, tamu boleh membawa maksimal enam potong baju ke dalam kamar pas. Selanjutnya, para pramuniaga siap melayani kebutuhan konsumen. Seandainya saat mengepas baju konsumen ingin mencari nomor lain yang lebih sesuai dengan ukuran tubuhnya, dia tinggal meminta ke pramuniaga untuk mencari nomor yang diinginkan tanpa harus keluar dari kamar pas.

Kesigapan menangkap pasar dan penyajian layanan ekstra terbukti berhasil membawa Zara pada kesuksesan. Ortega pun kini tak sekadar memiliki Zara yang pamornya menjulang mendunia. Rangkaian merk seperti Massimo Dutti, Oysho, Zara Home, Kiddy’s Class, Tempe, Stradivarius, Pull and Bear/Often, serta Bershka, juga dimilikinya. Lebih dari 14.000 orang, bekerja padanya. Selain memiliki saham grup Inditex sebesar 59.29 persen, Ortega juga berinvestasi di bidang perminyakan, pariwisata, perbankan, dan real estate. Beberapa bisnis propertinya berada di Madrid, Paris, London, dan Lisbon. Sebuah hotel mewah dan kompleks apartemen juga dibangunnya di Miami. Tak hanya itu, ia dilaporkan memiliki sebuah sirkuit pacuan kuda Idan klub sepakbola.

Dengan segala kepemilikannya itu ia menjadi orang terkaya di negeri matador, sekaligus konglomerat paling tajir kedelapan seantero jagad versi majalah Forbes. Meski demikian, Ortega tetap tidak melupakan asalnya dari golongan orang tak berpunya. Meski telah menjadi konglomerat, ia tetap low profile. Selain tak mau mengumbar foto dirinya, ia juga menolak memakai dasi. Ia lebih memilih jeans sebagai pakaian sehari-hari. Sebagai pengingat masa-masa pahitnya, Ortega menulis sebuah buku, "De Cero a Zara."

Tidak ada komentar:
Write comments